Selasa, 13 Desember 2011

Ibu Adalah Sebuah Sekolah

Ibu Adalah Sebuah Sekolah

Sebait syair Arab yang sangat terkenal ”Al-Ummu madrasatun idza a’dadtaha ‘adadta sya’ban tayyibul ‘araq” maknanya “seorang ibu adalah sebuah sekolah. Jika engkau persiapkan dia dengan baik maka sungguh engkau telah mempersiapkan sebuah generasi yang unggul”.
Seorang ibu memiliki kesempatan dan potensi yang lebih besar untuk berperan secara langsung dalam proses pemberian warna dasar pada anak, yakni peletak dasar/landasan pembentukan kepribadiannya. Sebab ibulah yang paling dekat dengan anak sejak awal pertumbuhannya, sesuai dengan tugas pokoknya. Sedangkan ayah kemungkinan besar lebih banyak di luar rumah karena menjalankan tugasnya mencari nafkah keluarga. Sekalipun demikian, ayah tetap sebagai pemeran utama danbertanggung jawab dalam proses pembentukan kepribadian anak.
Pendidikan Calon Anak Sejak Di Alam Rahim
Seorang ibu mengandung janin (calon anak manusia) dalam rahimnya selama + 9 bulan. Setelah lahir ke dunia ia menyusuinya selama 2 tahun serta mengasuhnya sampai mampu mandiri (+ usia 6-9 tahun), yakni mampu mengurus diri sendiri dan mampu membedakan mana yang baik dan mana yang buruk. Dalam keadaan ini berarti seorang ibu memiliki peluang yang besar untuk berperan dalam proses perkembangan seorang anak (minimal 6-9 tahun). Bahkan pada masa awal kehidupan anak inilah, peran ibu sangat menentukan kondisi perkembangannya.
Seorang ibu bisa memulai proses pendidikan pada anaknya sejak janin (masih dalam kandungan), ketika tidak ada orang lain yang bisa melakukannya. Minimal yang harus dilakukan seorang ibu terhadap janin dalam kandungannya adalah memilihkan makanan yang halal dan baik untuk membesarkan janin. Senantiasa berdzikir dan berdo’a kepada Allah SWT, ketika merasakan setiap gejala yang diakibatkan keberadaan janin dalam kandungan. Tidak mengeluh terhadap rasa sakit yang dialaminya di saat hamil, tetapi sepenuhnya berserah diri kepada Allah dan senantiasa mengharapkan pertolongan Allah agar tetap bisa menunaikan segala kewajiban dan tanggung jawab yang dibebankan kepadanya. Berupaya menenangkan perasaan/emosionalnya dengan membaca ayat-ayat Al Qur’an, sehingga suasana hatinya tetap tenang dan ikhlas menjalani masa kehamilannya. Sebab kondisi psikologis seorang ibu – menurut pendapat para ahli akan berpengaruh pada perkembangan janin yang dikandungnya.
Demikian pula setelah anak lahir, ibu berperan besar untuk menciptakan kondisi lingkungan tempat anak dibesarkan. Suara apa yang pertama didengarnya ketika pertama kali ia bisa mendengar. Pemandangan seperti apa yang dilihatnya ketika ia pertama kali melihat. Kata-kata apa yang diucapkannya ketika ia pertama kali berbicara. Dan lingkungan pertama yang masuk ke dalam ‘rekaman kaset kosong’ seorang anak adalah rumahnya. Apa-apa yang ada di dalam rumahnya itulah yang pertama direkamnya, terutama yang paling dekat kepadanya adalah ibu. Oleh karena itu ibulah madrasah (sekolah) pertama bagi anak-anaknya.
Ibu Tidak Tergantikan
Pembinaan oleh ibu yang dilakukan sejak dini ini akan memberikan pengaruh yang luar biasa pada anak, yang tidak akan bisa digantikan oleh pihak manapun ataupun diganti dengan nilai materi berapapun.  Bukankah ketika ibu menyusui, ibu mengajarkan rasa aman?  Bukankah ketika ibu menidurkan anak dalam buaian, ibu mengajarkan kasih sayang? Bukankah saat melatih anak berjalan, ibu mengajarkan semangat untuk berjuang,  saat menengahi perselisihan anak, ibu mengajarkan  tentang keadilan?   Ibu pun mengajarkan kejujuran, keterbukaan, empati dan tanggung jawab.  Dan terpenting, ibulah yang pertama kali mengajarkan anak tentang tuhannya, pada siapa dia harus takut, tunduk dan patuh.  Generasi manakah yang lebih baik dari generasi yang kelak bisa memberikan rasa aman, kasih sayang, keadilan dan punya empati yang tinggi terhadap umatnya? Mereka memiliki kejujuran, tidak tergoda oleh materi, bertanggungjawab dan pantang menyerah dalam perjuangannya.  Mereka adalah  orang yang paling takut tehadap azab Allah bila lalai dari tanggungjawab mereka, Mereka yang menjalankan hukum-hukum Allah tanpa merasa takut pada sesama manusia.  Bukankah generasi seperti ini yang akan mampu membawa umat pada kemashlahatan ?
Tak dapat dipungkiri lagi bahwa peran ibu sangat besar artinya dalam pembentukan generasi di masa datang, mengingat besarnya peluang dan kesempatan seorang ibu tersebut untuk mengawali proses pendidikan anak-anaknya sejak dini. Mereka bisa membentuk warna dan corak generasi umat Islam di masa datang. Seorang ibu yang lemah, bodoh dan berperilaku buruk akan menghasilkan generasi yang warnanya tidak jauh berbeda dengan dirinya. Sebab di masa awal, anak mendapatkan teladan yang buruk untuk membentuk eksistensi dan kepribadian dirinya. Anak akan menyerap informasi dan perilaku apapun yang ada didekatnya tanpa bisa memilah-milah mana yang baik dan mana yang buruk. Sebaliknya kalau ‘sang ibu’ itu pintar (menguasai tsaqofah Islam), cerdas, kreatif, berperilaku baik serta berkepribadian Islam yang tinggi, maka warna dasar di masa datang akan baik. Bahkan kalau perannya berjalan optimal, ibu seperti ini akan mampu membentuk generasi yang tangguh, yang tidak terombang-ambing oleh ombak kehidupan. Mereka akan tetap mampu bertahan dan berdiri dengan tegar serta kokoh prinsip hidupnya, apapun kondisi yang menghadangnya.
Dengan demikian agar peran para ibu dalam pendidikan generasi di masa datang bisa optimal untuk menghasilkan generasi para mujahid tangguh, politikus ulung dan para mujtahid, maka proses pembinaan para ibu tidak boleh dicukupkan ala kadarnya apalagi diabaikan. Para ibu harus dibina dengan tsaqofah Islam secara mapan atau mendalam, sehingga dia mampu mengarahkan dan bahkan mendidik anak-anaknya menjadi generasi-generasi yang diharapkan mampu berperan meraih kejayaan Islam kembali.
Pendidikan Untuk Ibu
Bagaimana mungkin seorang ibu mampu mendidik anak-anaknya menjadi mujahid kalau dia tidak memahami betapa mulianya kedudukan seorang mujahid. Mana mungkin seorang ibu mampu menghantarkan seorang anak menjadi ulama sementara dia buta terhadap tsaqofah Islam. Bagaimana mungkin seorang ibu mampu mendidik anaknya menjadi pejuang-pejuang Islam, aset-aset bangsa, generasi yang akan menjadi agen perubahan masyarakatnya yang rusak,  kalau dirinya sendiri masih enggan berkorban untuk Islam. Kalau dirinya sendiri hanya memandang anaknya adalah sekedar aset pribadinya yang kelak harus mengembalikan investasi pribadi yang selama ini dia tanam untuk membesarkan anaknya, dan tidak lebih dari itu. Bagaimana mungkin pula seorang ibu yang lebih mengutamakan kemapanan materi dengan mengejar karir sembari mengabaikan tugasnya sebagai ibu  bisa mendidik anaknya untuk meraih kemuliaan di hadapan Allah meskipun dengan mengorbankan dunianya. Mustahil ibu seperti ini akan mampu mencetak generasi harapan umat untuk meraih kebangkitan dan kejayaan Islam kembali. Karena seperti pepatah bilang: “singa hanya terlahir dari singa”; “seorang anak yang hebat juga hanya terlahir dari ibu yang hebat”.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar