Sabtu, 26 November 2011

Ilmu Yang Disangka Terpuji ternyata Tercela



Sesungguhnya semua ilmu itu tidak tercela. Namun menjadi tercela karena penggunaannya. Ilmu sihir diterangkan dalam Al Quran. Ia tidak tercela karena bersifat informasi dan kita boleh mengetahuinya. Namun jika ilmu itu diamalkan dalam sebuah perilaku, maka akan menjadi tercela.
Tercelanya ilmu itu karena sebab:
  1. Jika ilmu itu menyebabkan kemudharatan apa pun; merugikan pemiliknya atau membahayakan orang lain. Contohnya adalah ilmu sihir dan jimat-jimat. Di dalam Al Quran memang ada diterangkan. Namun sebenarnya merupakan pengetahuan. Tetapi jika diterapkan dan membahayakan, berarti menjadi tercela. 
  2. Jika ilmu itu merugikan pemiliknya dalam banyak urusan seperti ilmu nujum. Ilmu nujum sendiri sebenarnya tidaklah tercela, namun penggunaannya yang menyebabkan tercela. Ilmu nujum bermanfaat sebagai perhitungan perbintangan, mata angin dan cuaca; atau sebagai hukum alam. Namun jika disalahgunakan akan merugikan. 
Timbulnya kekaburan ilmu-ilmu yang tercela dengan ilmu syar’iyyah karena pengubahan nama-nama yang terpuji, penggantian dan memindahkannya dengan tujuan-tujuan merusak, kepada makna-makna yang tidak dikehendaki oleh ulama salaf. Ada lafal nama-nama ilmu yang terpuji namun digantikan dengan nama baru yang bermakna tercela. Lima lafal itu adalah Al Fiqhu, Al Ilmu, At Tauhid, At Tadzkier dan Al Hikmah.
Orang-orang memperlakukan fiqh dengan pengkhususan, bukan dengan memindah. Karena mereka mengkhususkan fiqh dengan “mengetahui bagian-bagian aneh dalam fatwa-fatwa dan memperhatikan terperincinya illat (sebab) cabang-cabang itu, serta menghafal pendapat yang berkenaan dengan cabang-cabang yang terkait.” Oleh karenanya orang yang sangat memperdalam cabang-cabang itu dan sibuk dengannya maka dianggap sebagai orang yang pintar. Padahal sebenarnya nama “fiqh” semula adalah “ilmu jalan akhirat” dan memperinci penyakit-penyakit jiwa yang merusak amal, kekuatan liputan terhadap sepelenya duniawi, amat memperhatikan kenikmatan akhirat serta penguasaan rasa takut pada hati.”
Jadi semula ilmu fiqh bukanlah membahas tentang talak, li’an dan ijarah. Bagaian-bagian ini merupakan cabang kecil yang tidak terkait dengan fiqh yang sebenarnya. Karena dicampuradukkan pengertiannya sehingga orang awam kemudian menganggap fiqh hanya membahas masalah amalan lahiriah atau lebih dikenal dengan ibadah syariat saja. Padahal sebenarnya antara ibadah syariat dengan pengaturan kalbu dibahas dalam ilmu fiqh. 
Kemudian “Al Ilmu”, semula digunakan untuk “ilmu Allah Taala, ayat-ayatNya, tindakan-tindakanNya di kalangan para hamba dan makhlukNya. Sampai-sampai Ibnu Mas’ud kala itu berkata, “Benar-benar telah Mati sembilan per sepuluhnya ilmu”. Ibnu Masud memakrifatkan kata “ilmu” dengan alil lam (Al Ilmu). Kemudian menafsirinya, “Ilmu terhadap Allah swt.”
Lafal ketiga yang dibelokkan ialah At Tauhid. Bagi orang awam diterjemahkan sebagai peraturan Ilmu Kalam, mengetahui cara berdebat, cara-cara menghadapi lawan, mampu berjuang dalam perdebatan, dan sebagainya. Karena itu ahli ilmu kalam disebut ulama tauhid. 
Lafal keempat adalah Adz Dzikru dan At Tadzkir. Adz Dzikru sebenarnya bermakna mengingat (Allah). Namun ulama-ulama jaman sekarang telah membelokkan makna dan amalannya. Dzikir sekarang ialah membaca dan menekuni kisah-kisah, syair-syair, mengaku makrifat dan omongan-omongan yang meresahkan. Sesungguhnya hal itu sudah menyimpang.
Rasulullah saw. bersabda, “Menghadiri majelis dzikir lebih utama daripada shalat seribu rakaat, menghadiri majelis dzikir lebih utama daripada menengok orang sakit, menghadiri majelis dzikir lebih utama daripada menyaksikan seribu jenazah.” Lalu seorang sahabat bertanya, “Bagaimana jika dibanding dengan membaca Al Quran?” Rasulullah saw. bersabda, “Bermanfaat membaca Al Quran dengan menggunakan ilmu.”
Lafal kelima adalah Al Hikmah. Kata-kata hikmah adalah yang dipuji Allah, berdasarkan firmanNya, “Allah memberikan hikmah kepada siapa saja yang Dia kehendaki. Dan barangsiapa diberi hikmah, maka ia benar-benar diberi kebaikan yang banyak sekali.” 
Al Hikmah kemudian dibelokkan sehingga seakan-akan terkait dengan “hakim”. Padahal kata hakim telah menjadi sebutan bagi dokter, penyair, dan ahli perbintangan sampai pula pada orang-orang yang memutar dadu dengan telapak tangan di pinggir-pinggir jalan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar