Ibu Adalah Sebuah Sekolah
Sebait
syair Arab yang sangat terkenal ”Al-Ummu madrasatun idza a’dadtaha
‘adadta sya’ban tayyibul ‘araq” maknanya “seorang ibu adalah sebuah
sekolah. Jika engkau persiapkan dia dengan baik maka sungguh engkau
telah mempersiapkan sebuah generasi yang unggul”.
Seorang ibu memiliki kesempatan dan
potensi yang lebih besar untuk berperan secara langsung dalam proses
pemberian warna dasar pada anak, yakni peletak dasar/landasan
pembentukan kepribadiannya. Sebab ibulah yang paling dekat dengan anak
sejak awal pertumbuhannya, sesuai dengan tugas pokoknya. Sedangkan ayah
kemungkinan besar lebih banyak di luar rumah karena menjalankan tugasnya
mencari nafkah keluarga. Sekalipun demikian, ayah tetap sebagai pemeran
utama danbertanggung jawab dalam proses pembentukan kepribadian anak.
Pendidikan Calon Anak Sejak Di Alam Rahim
Seorang ibu mengandung janin (calon anak
manusia) dalam rahimnya selama + 9 bulan. Setelah lahir ke dunia ia
menyusuinya selama 2 tahun serta mengasuhnya sampai mampu mandiri (+
usia 6-9 tahun), yakni mampu mengurus diri sendiri dan mampu membedakan
mana yang baik dan mana yang buruk. Dalam keadaan ini berarti seorang
ibu memiliki peluang yang besar untuk berperan dalam proses perkembangan
seorang anak (minimal 6-9 tahun). Bahkan pada masa awal kehidupan anak
inilah, peran ibu sangat menentukan kondisi perkembangannya.
Seorang ibu bisa memulai proses
pendidikan pada anaknya sejak janin (masih dalam kandungan), ketika
tidak ada orang lain yang bisa melakukannya. Minimal yang harus
dilakukan seorang ibu terhadap janin dalam kandungannya adalah
memilihkan makanan yang halal dan baik untuk membesarkan janin.
Senantiasa berdzikir dan berdo’a kepada Allah SWT, ketika merasakan
setiap gejala yang diakibatkan keberadaan janin dalam kandungan. Tidak
mengeluh terhadap rasa sakit yang dialaminya di saat hamil, tetapi
sepenuhnya berserah diri kepada Allah dan senantiasa mengharapkan
pertolongan Allah agar tetap bisa menunaikan segala kewajiban dan
tanggung jawab yang dibebankan kepadanya. Berupaya menenangkan
perasaan/emosionalnya dengan membaca ayat-ayat Al Qur’an, sehingga
suasana hatinya tetap tenang dan ikhlas menjalani masa kehamilannya.
Sebab kondisi psikologis seorang ibu – menurut pendapat para ahli akan
berpengaruh pada perkembangan janin yang dikandungnya.
Demikian pula setelah anak lahir,
ibu berperan besar untuk menciptakan kondisi lingkungan tempat anak
dibesarkan. Suara apa yang pertama didengarnya ketika pertama kali ia
bisa mendengar. Pemandangan seperti apa yang dilihatnya ketika ia
pertama kali melihat. Kata-kata apa yang diucapkannya ketika ia pertama
kali berbicara. Dan lingkungan pertama yang masuk ke dalam ‘rekaman
kaset kosong’ seorang anak adalah rumahnya. Apa-apa yang ada di dalam
rumahnya itulah yang pertama direkamnya, terutama yang paling dekat
kepadanya adalah ibu. Oleh karena itu ibulah madrasah (sekolah) pertama
bagi anak-anaknya.
Ibu Tidak Tergantikan
Pembinaan oleh ibu yang dilakukan sejak
dini ini akan memberikan pengaruh yang luar biasa pada anak, yang tidak
akan bisa digantikan oleh pihak manapun ataupun diganti dengan nilai
materi berapapun. Bukankah ketika ibu menyusui, ibu mengajarkan rasa
aman? Bukankah ketika ibu menidurkan anak dalam buaian, ibu mengajarkan
kasih sayang? Bukankah saat melatih anak berjalan, ibu mengajarkan
semangat untuk berjuang, saat menengahi perselisihan anak, ibu
mengajarkan tentang keadilan? Ibu pun mengajarkan kejujuran,
keterbukaan, empati dan tanggung jawab. Dan terpenting, ibulah yang
pertama kali mengajarkan anak tentang tuhannya, pada siapa dia harus
takut, tunduk dan patuh. Generasi manakah yang lebih baik dari generasi
yang kelak bisa memberikan rasa aman, kasih sayang, keadilan dan punya
empati yang tinggi terhadap umatnya? Mereka memiliki kejujuran, tidak
tergoda oleh materi, bertanggungjawab dan pantang menyerah dalam
perjuangannya. Mereka adalah orang yang paling takut tehadap azab
Allah bila lalai dari tanggungjawab mereka, Mereka yang menjalankan
hukum-hukum Allah tanpa merasa takut pada sesama manusia. Bukankah
generasi seperti ini yang akan mampu membawa umat pada kemashlahatan ?
Tak dapat dipungkiri lagi bahwa peran
ibu sangat besar artinya dalam pembentukan generasi di masa datang,
mengingat besarnya peluang dan kesempatan seorang ibu tersebut untuk
mengawali proses pendidikan anak-anaknya sejak dini. Mereka bisa
membentuk warna dan corak generasi umat Islam di masa datang. Seorang
ibu yang lemah, bodoh dan berperilaku buruk akan menghasilkan generasi
yang warnanya tidak jauh berbeda dengan dirinya. Sebab di masa awal,
anak mendapatkan teladan yang buruk untuk membentuk eksistensi dan
kepribadian dirinya. Anak akan menyerap informasi dan perilaku apapun
yang ada didekatnya tanpa bisa memilah-milah mana yang baik dan mana
yang buruk. Sebaliknya kalau ‘sang ibu’ itu pintar (menguasai tsaqofah
Islam), cerdas, kreatif, berperilaku baik serta berkepribadian Islam
yang tinggi, maka warna dasar di masa datang akan baik. Bahkan kalau
perannya berjalan optimal, ibu seperti ini akan mampu membentuk generasi
yang tangguh, yang tidak terombang-ambing oleh ombak kehidupan. Mereka
akan tetap mampu bertahan dan berdiri dengan tegar serta kokoh prinsip
hidupnya, apapun kondisi yang menghadangnya.
Dengan demikian agar peran para ibu
dalam pendidikan generasi di masa datang bisa optimal untuk menghasilkan
generasi para mujahid tangguh, politikus ulung dan para mujtahid, maka
proses pembinaan para ibu tidak boleh dicukupkan ala kadarnya apalagi
diabaikan. Para ibu harus dibina dengan tsaqofah Islam secara mapan atau
mendalam, sehingga dia mampu mengarahkan dan bahkan mendidik
anak-anaknya menjadi generasi-generasi yang diharapkan mampu berperan
meraih kejayaan Islam kembali.
Pendidikan Untuk Ibu
Bagaimana mungkin seorang ibu mampu
mendidik anak-anaknya menjadi mujahid kalau dia tidak memahami betapa
mulianya kedudukan seorang mujahid. Mana mungkin seorang ibu mampu
menghantarkan seorang anak menjadi ulama sementara dia buta terhadap
tsaqofah Islam. Bagaimana mungkin seorang ibu mampu mendidik anaknya
menjadi pejuang-pejuang Islam, aset-aset bangsa, generasi yang akan
menjadi agen perubahan masyarakatnya yang rusak, kalau dirinya sendiri
masih enggan berkorban untuk Islam. Kalau dirinya sendiri hanya
memandang anaknya adalah sekedar aset pribadinya yang kelak harus
mengembalikan investasi pribadi yang selama ini dia tanam untuk
membesarkan anaknya, dan tidak lebih dari itu. Bagaimana mungkin pula
seorang ibu yang lebih mengutamakan kemapanan materi dengan mengejar
karir sembari mengabaikan tugasnya sebagai ibu bisa mendidik anaknya
untuk meraih kemuliaan di hadapan Allah meskipun dengan mengorbankan
dunianya. Mustahil ibu seperti ini akan mampu mencetak generasi harapan
umat untuk meraih kebangkitan dan kejayaan Islam kembali. Karena seperti
pepatah bilang: “singa hanya terlahir dari singa”; “seorang anak yang
hebat juga hanya terlahir dari ibu yang hebat”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar